Yanto Eluay Tegaskan Aksi Demo Tolak DOB Tak Boleh Ada di Wilayah Adat Tabi

Tokoh Adat Papua dari Wilayah Tabi yang juga Ondofolo Kampung Sereh, Yanto Khomlay Eluay.

Keterangan gambar : Tokoh Adat Papua dari Wilayah Tabi yang juga Ondofolo Kampung Sereh, Yanto Khomlay Eluay saat diwawancara. (Foto : Irfan)

JAYAPURA, Potret.co – Tokoh Adat Papua dari Wilayah Adat Tabi yang juga Ondofolo Kampung Sereh Yanto Khomlay Eluay menegaskan bahwa aksi demo dari kelompok yang menamakan diri sebagai Petisi Rakyat Papua (PRP) yang menolak atau mencabut Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II dan juga menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, serta menggelar referendum itu tidak boleh dilakukan di atas wilayah adat Tabi.

Menurut Yanto Eluay, aksi demo tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga yang tinggal di wilayah adat Tabi khususnya di Kabupaten Jayapura.

“Terkait aksi demo yang akan dilakukan besok tanggal 3 Juni, kami selaku tokoh adat sudah pernah menyampaikan dengan tegas bahwadi wilayah adat kami tidak boleh ada aksi-aksi atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau mengganggu aktivitas umum. Juga yang dapat mengakibatkan tidak kondusif atau terganggunya Kamtibmas,” kata Yanto Eluay, Kamis (2/6/2022).

“Kami pertegas lagi, wilayah adat kami wajib jaga, juga kami wajib bertanggung jawab agar wilayah adat kami tetap aman dan damai. Karena aman dan damai itu ciri-ciri kemajuan suatu daerah,” sambungnya.

Dia menegaskan bahwa yang akan melakukan aksi-aksi harus memahami bahwa tokoh-tokoh adat di wilayah adat Tabi khususnya di Kabupaten Jayapura sudah mendukung Otsus Jilid II yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat, serta mendukung DOB yang sementara pembahasan di DPR RI.

Menurutnya, DOB merupakan peluang bagi para pemuda Papua yang merupakan bagian dari anak-anak adat.

“Dengan adanya DOB tersebut, membuka ruang atau lapangan kerja. Setelah selesai kuliah, mereka bisa mendaftar sebagai ASN atau melakukan aktivitas di aspek-aspek lain dalam mengisi roda pemerintahan,” katanya.

Yanto Eluay yang juga Ketua Umum Presidium Putra Putri Pejuang Pepera (P5) Provinsi Papua itu dengan tegas menyampaikan bahwa tahun 1969 secara de jure Papua sudah final berintegrasi ke dalam NKRI.

“Sedangkan untuk tuntutan referendum, inikan berhubungan dengan status politik Papua. Secara tegas, kami sebagai anak-anak dari tokoh-tokoh Papua yang terlibat dalam Pepera di tahun 1969 yang juga selaku anggota dewan musyawarah Pepera tahun 1969 telah diputuskandalam Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat, serta sudah dicatat oleh PBB dengan Pemerintah Indonesia soal Papua itu sudah final,” tegas Yanto.

“Jadi sekitar 1.025 orang tokoh-tokoh Papua, yang ikut dalam musyawarah Pepera itu sudah memutuskan secara total bahwa Papua merupakan bagian daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga sudah diakui dunia internasional,” sambungnya.

Satu hal menyangkut tuntutan yang berhubungan dengan status politik Papua, Yanto mengatakan, dari 1.025 orang tokoh Papua, yang mewakili sekitar 800 ribu masyarakat Papua ikut dalam musyawarah Pepera saat itu di antaranya adalah tokoh-tokoh adat.

“Mereka adalah pemimpin-pemimpin masyarakat adat Papua atau Irian Barat saat itu. Di mana, mereka sebagai anggota dewan musyawarah Pepera sudah hadir mewakili masyarakat hukum adatnya dan mereka juga hadir dengan kewenangan atau otoritas atas wilayah adat masing-masing. Jadi saat mereka sudah memutuskan, bahwa Papua menjadi bagian daripada NKRI secara otomatis mereka sudah menyerahkan masyarakat hukum adat Papua menjadi warga negara Republik Indonesia,” imbuh Ondofolo Besar di wilayah Adat Tabi ini.

Menurutnya, yang mempunyai kewenangan berbicara tentang status politik Papua adalah tokoh-tokoh adat. Dikarenakan, tokoh adat yang memiliki kewenangan atas wilayah adat dan juga masyarakat hukum adat di Papua.

“Hal ini yang jarang sekali diketahui oleh mahasiswa. Bahwa, siapapun yang mau melakukan perjuangan tentang status politik Papua, entah itu mau berbicara tentang kemerdekaan Papua atau Papua mau memisahkan diri dari NKRI. Ya, selagi pimpinan-pimpinan atau tokoh-tokoh adat belum berbicara, maka itu kami minta agar dihentikan,” ucapnya. (Irf)